Kita menanggung tugas yang suci, yakni tunduk dan pasrah pada saat kita dihadapkan
pada takdir agar hasil yang diperoleh menjadi
kemashlatan, dan akibat baiknya juga untuk diri kita. Sebab, dengan
kesadaran seperti ini kita akan terhindar dari kerugian di haari ii dan
kebangkrutan di masa mendatang.
Seorang penyair berkata,
“Tatkala kulihat uban
tampak pada bagian depan kepala dan pusaran kepala,
kukatakan:Selamat
datang wahai uban.
Walaupun aku
khawatir, jika kupenuhi salamku maka diak akan menyimpang dariku,
dan sebenarnya aku
juga ingin dia menyimpang.
Namun, jike telah
datang sebuah cobaan, jiwaku merasa lapang karena suatu hari nanti bencana akan
hilang juga.”
Satu-satunya jalan adalah kita harus beriman kepada takdir
Allah, sebab takdir pasti akan diberlakukan. Orang yang terbiasa menempatkan
dirinya dalam kesedihan akan tetap berada dalam kesedihan, walaupun tidur di
atas sutra yang lembut. Sejarah memberi kesaksian kepada kita bahwa keagungan
dan kebahagiaan telah menyerahkan pusat kendalinya kepada orang-orang dari
latar belakang yang berbeda. Yakni lingkungan yang didalamnya terdapat kebaikan
dan kejahatan, dan lingkungan yang tidak memisahkan antara kebaikan dan
kejahatan secara tegas. Di lingkungan itu tumbuh manusia-manusia yang mampu
memikul tanggung jawab di atas pundak mereka dan bukan yang melepas tanggung
jawab.
Orang-orang yang mengangkat panji hidayah rabbaniyah pada masa-masa awal dakwah
Rasullah adalah justru para budak, orang-orang miskin dan tidak beruntung.
Sebaliknya, orang-orang myang menentang keimanan yang suci adalah orang-orang
terpandang dan punya kedudukan terhormat.
Baca dan pahamilah firman-firman Allah ini:
{Dan, apabila dibacakan kepada mereka
ayat-ayat Kami yang terang (maksudnya) niscaya orang-orang kafir berkata kepada
orang-orang yang beriman: “Manakah di antara kedua golongan (kafir dan mukmin)
yang lebih baik tempat tinggalnya dan lebih idah pertemuan(nya).”} (QS. Maryam: 91)
{Orang-orang semacam inikah diantara kita
yang diberi anugerah oleh Allah,kepada mereka? (Allah berfirman): “Tidaklah
Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?”} (QS.
Al-An’am: 53)
{Dan, orang-orang kafir kepada orang-orang
yang beriman: “Kalau sekiranya dia (al-Qur’an) adalah suatu yang baik, tentulah
mereka tidak mendahului kami (beriman) kepadanya.”} (QS. Al-Ahqaf: 11)
{Orang-orang yang menyombongkan diri
berkata: “Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa yang
kamu imani itu.”} (QS. Al-A’raf: 76)
{Dan, mereka berkata: “Mengapa al-Qur’an ini
tidak diturunkan kepada seorang pembesar dari salah satu dua negeri (Mekah dan
Thaif)ini?” Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabb-mu?} (QS. Az-Zukhruf: 31-32)
Saya
menjadi ingat dengan sebuah bait syair yang digubah Antarah, saat dia
memberitahukan kepada kita bahwa harga dirinya terletak dalam karakter dan
kebaikanya, bukan pada asal-usul dan garis keturunannya. Dan dia berkata:
“Jika
aku adalah seorang hamba,
maka
aku adalah tuan dalam derma.
Atau
jika aku berkulit hitam,
tapi
akhlakku berwarna putih.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar